PENERAPAN EMANCIPATORY QUESTION HABERMAS UNTUK MENINGKATKAN KESADARAN SEJARAH SISWA
Kami Membantu Anda Menyusun PTK Lengkap dan Murah dengan Harga 300ribu/PTK, Ambil 2/3 PTK Akan Mendapat Harga Lebih Murah.
Hub Kami di 081222940294
WA : 081222940294
BBM: 5AA33306
Untuk Melihat Katalog Judul PTK IPS Yang Kami Sediakan Silahkan klik Disini
WA : 081222940294
BBM: 5AA33306
Untuk Melihat Katalog Judul PTK IPS Yang Kami Sediakan Silahkan klik Disini
Pembelajaran sejarah di kelas XI IPS SMA Bina Bangsa Palembang dapat dideskripsikan diantaranya adalah siswa lebih banyak mengetahui fakta peristiwa sejarah dan beberapa siswa tidak mampu mengingat materi sejarah pada pertemuan sebelumnya. Keadaan tersebut terjadi karena guru sejarah mendominasi panggung kelas sedangkan siswa bagai penonton seperti dalam suatu pertunjukan drama. Kondisi yang terjadi di kelas XI IPS SMA Bina Bangsa tersebut seperti pemberitaan yang pernah dimuat dalam Kompas (29 Mei 2009) bahwa sejarah adalah trade mark mata pelajaran hafalan, yang dari tahun ke tahun tidak berubah dengan sistem dan metode pelajaran yang telah ditentukan dalam kurikulum. Selanjutnya diperkuat pula oleh pendapat Parrington dalam bukunya The Idea of an Historical Education (1980) yang menyatakan bahwa pengajaran sejarah sangat didominasi oleh pengajaran hafalan dengan terlalu menekankan “Chalk and Talk” (kapur dan bicara) (Damanik, 2010).
Pendidikan sejarah memang akrab dengan penyaampaian fakta-fakta sejarah. Hubungan antara fakta dan sejarah dikemukakan oleh Cohen dan Marc Depaepe (1996: 303) bahwa the fact that the history of education has finally succeeded in understanding it self as history. Penyampaian fakta dalam pembelajaran sejarah tidak bisa dihindari yang kemudian didominasi dengan penggunaan metode ceramah. Hal ini tentu saja tidak dapat dipungkiri karena untuk menganalisis suatu peristiwa sejarah maka dibutuhkan pengetahuan mengenai fakta-fakta terkait peristiwa sejarah tersebut. Namun disatu sisi keadaan ini mengakibatkan pembelajaran bersifat teacher centered atau boring learning (pembelajaran yang membosankan).
Dominasi pembelajaran dengan fakta-fakta sejarah dikritik pula oleh Stopsky dan Sharon Lee (dalam Supriatna E, 2006: 59) yaitu pendidikan sejarah sebagai mata pelajaran berisi fakta, nama dan peristiwa masa lalu; mata pelajaran yang membosankan; tidak ada kontribusi dalam masyarakat karena hanya membicarakan masa lalu; pembelajaran hanya bersumber pada buku teks; guru tidak dapat membelajarkan keterampilan berpikir dan guru IPS cenderung berasumsi bahwa tugas mereka adalah memindahkan pengetahuan dan keterampilan yang pada ada pada dirinya ke kepala siswa secara utuh (transfer knowledge to the brain of the student).
Permasalahan lain dalam pembelajaran di kelas XI IPS SMA Bina Bangsa Palembang adalah bentuk pertanyaan yang diajukan oleh guru sejarah kelas XI IPS SMA Bina Bangsa Palembang kepada siswa kelas XI IPS SMA Bina Bangsa Palembang kurang mengeksplorasi pemahaman siswa mengenai materi pelajaran. Pun sama halnya dengan siswa yang mengajukan pertanyaan sederhana seputar fakta peristiwa sejarah saja. Bukan hanya itu, dibeberapa pertemuan pembelajaran pendidikan sejarah, siswa jarang sekali bertanya walaupun guru sejarah telah memberikan kesempatan untuk bertanya. Kondisi tersebut senada dengan apa yang diungkapkan oleh Ratna Hapsari, Ketua Umum Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI), di sela workshop "Membangun Kesadaran Sejarah untuk Kebenaran dan Keadilan" di Jakarta pada hari Jumat (29/5) (Kompas, 29 Mei 2009) bahwa para siswa dibuat sibuk menghafal tanpa memperoleh esensi sejarah itu sendiri.
Pembelajaran sejarah yang hanya diisi dengan kegiatan menghafal tahun dan peristiwa hanya akan memperkuat image pendidikan sejarah sebagai sebuah subjek yang tidak mengasyikkan dan tidak bermakna, padahal jika dikelola dengan baik pembelajaran sejarah yang sarat akan nilai dan cerita-cerita inspiratif dapat menjadi sarana hiburan edukatif bagi siswa setelah menjalani subjek-subjek lain yang cenderung menguras tenaga dan pikiran siswa seperti subjek yang penuh dengan hitung-hitungan rumit.
Permasalahan yang terjadi di kelas XI IPS SMA Bina Bangsa Palembang tidak dapat dibiarkan berlangsung terus menerus karena dapat mengabaikan kesadaran sejarah siswa. Guru, terutama guru sejarah, sebagai agent of change harus memiliki kemampuan lebih dalam mengelola proses pembelajaran. Penyampaian fakta terutama dalam pembelajaran sejarah tentu saja perlu namun hal penting yang juga harus diaplikasikan adalah bagaimana penyampaian fakta yang dilakukan oleh guru sejarah tidak seputar pengetahuan fakta sejarah saja namun juga mewujudkan potensi sejarah dalam hubungannya dengan kesadaran sejarah siswa.
Mengacu pada ungkapan seorang sejarawan Inggris, Collingwood dalam bukunya The Idea of History (1973: 10) terkenal dengan pernyataan beliau yaitu:
“... knowing your self means knowing that you can do; and since nobody knows what he can do until he tries, the only clue to what man can do is what man has done. The value of history, the, is that it theachs us what man has done and then what man is...”
Ungkapan Collingwood tersebut mengandung makna bahwa mengenal diri sendiri berarti tahu apa yang dapat kita lakukan. Tidak seorang pun tahu apa yang dapat dilakukan sebelum mencoba. Satu-satunya kunci untuk tahu apa yang bisa kita lakukan adalah dari apa yang telah kita lakukan dan nilai dari sejarah adalah mengajarkan kita mengenai apa yang telah dilakukan.
Sejarah lebih dari sekedar mempersoalkan masa lalu yaitu menanyakan bagaimana masa lalu sebagai cerminan bagi masa depan manusia dalam upaya menanamkan kesadaran dan empati kesejarahan dalam konteks kekinian yang semakin mengglobal (Farisi, 2003: 76). G. Moedjanto (dalam Atmadi dan Setianingsih, 2000: 44) menambahkan bahwa ada beberapa alasan perlunya belajar sejarah yaitu adanya keinginan manusia untuk tahu masa lalu peradaban mereka, dorongan eksistensi yaitu adanya amnesia untuk menanyakan tentang asal-usulnya dan adanya dorongan legitimasi karena ingin memperoleh kedudukannya. Pada dasarnya inti dari ketiga alasan yang dikemukakan tersebut adalah mengenai identitias.
Pendidikan Sejarah selain mempelajari kehidupan atau peristiwa-peritiwa penting dimasa lampau dalam setiap sendi kehidupan dalam masyarakat dan kumpulan pengetahuan mengenai fakta sejarah, dalam rangka pembangunan bangsa pembelajaran sejarah bertujuan membangkitkan kesadaran sejarah siswa sehingga menciptakan kesadaran nasional yang pada gilirannya memperkuat solidaritas nasional. Sehubungan dengan hal tersebut maka pelajaran sejarah nasional sangat strategis bagi pembentukan kesadaran sejarah. Tanpa sejarah manusia tidak akan mampu membangun ide-ide tentang konsekuensi dari apa yang dilakukan dalam realitas kehidupannya pada masa kini dan masa yang akan datang dalam sebuah kesadaran historis (Aman, 2012: 229- 230).
Berdasarkan hal-hal tersebut pendidikan sejarah memegang peranan penting dalam mengembangkan kesadaran sejarah siswa seperti yang dikemukakan oleh Ismaun yaitu tujuan ideal pendidikan dan pengajaran sejarah adalah agar siswa mampu memahami sejarah dalam arti memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang peristiwa, memiliki kemampuan berfikir krtitis, mengkaji informasi serta mengkaji setiap perubahan yang terjadi dilingkungan sekitarnya; memiliki kesadaran sejarah dalam arti memiliki kesadaran akan pentingnya waktu untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya, kesadaran akan terjadi perubahan secara terus menerus kemampuan mengindentifikasi nilai-nilai yang terkandung dalam sejarah dan memiliki wawasan sejarah yang bermara pada kearifan sejarah.
Kesadaran sejarah dimulai dari pengetahuan mengenai peristiwa sejarah atau fakta-fakta sejarah lalu diikuti dengan kausalitas peristiwa sejarah tersebut. Tidak hanya cukup sampai disitu, kesadaran sejarah menimbulkan sikap kearifan yang tinggi dimana kita semakin bijaksana untuk menyikapi kehidupan sehingga yang terpenting adalah bagaimana belajar dari sejarah bukan bagaimana belajar sejarah. Uraian tersebut sejalan dengan ungkapan yang telah ditulis pada paragraph diatas bahwa sejarah merupakan guru kehidupan, historia magistra vitae. Untuk mencapai pada pemahaman historia magistra vitae maka diperlukan kesadaran sejarah yang dapat dicapai dalam pembelajaran sejarah. Tanpa adanya kesadaran mengenai masa lampau dan realitas yang ada didalamnya, masyarakat akan menjadi pasif bagi masa lampau mereka (Stearn, Seixas & Wineburg, 2000: 59).
Melalui pendidikan sejarah, kesadaran sejarah berupa pemahaman mengenai kontinuitas dan perubahan yang berdaya guna untuk menyelesaikan permasalahan saat ini dan mempersiapkan masa depan sehingga dapat memberikan rasa optimis terhadap penyelesaian masalah bangsa (Wiriaatmadja, 2002: x-xi). Bahkan jauh sebelum para ahli tersebut, Rais (2008: 3) menuliskan bahwa Baginda Nabi Muhammad Salallahu’alaihi Wassalam telah menyampaikan pentingnya kesadaran sejarah:
“Barang siapa memiliki masa sekarang yang lebih bagus dari masa lalunya ia tergolong orang yang beruntung; bila masa sekarangnya sama dengan masa lalunya ia termasuk orang yang merugi; bila masa sekarangnya lebih buruk dari masa lampaunya ia tergolong orang yang bangkrut”.
Melalui pembelajaran sejarah di sekolah, siswa tidak hanya disiapkan untuk mengetahui fakta-fakta sejarah namun juga untuk mengembangkan kesadaran sejarah. Kesadaran sejarah sangat esensial bagi pembentukan kepribadian dan sebaliknya. Implikasi hal tersebut bagi national building adalah sejarah dan pendidikan memiliki hubungan yang erat dalam proses pembentukan kesadaran sejarah. Dalam rangka national building pembentukan solidaritas, inspirasi dan aspirasi memiliki peranan penting untuk system-maintenance negara dan memperkuat orientasi atau tujuan negara tersebut. Tanpa kesadaran sejarah kedua fungsi tersebut sulit untuk dipacu atau dengan kata lain semangat nasionalisme tidak dapat ditumbuhan tanpa kesadaran sejarah (Kartodirdjo, 1993: 53).
Salah satu upaya untuk memecahkan permasalahan tersebut adalah dengan mengembangkan pertanyaan yang lebih dari sekedar what, when, where, why dan how tapi juga pertanyaan yang dapat menimbulkan dan mendukung pengembangan kesadaran sejarah siswa melalui konsep siswa sebagai pelaku sejarah dijamannya diantaranya adalah Emancipatory Question Habermas. Questions atau questioning (bertanya atau tanya jawab) merupakan kegiatan untuk mendorong atau membimbing siswa dan menilai kemampuan kognitif siswa.
Adapun pemilihan pembelajaran Emancipatory Question Habermassebagai upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kesadaran sejarah dan memperbaiki kualitas pembelajaran adalah karena: pertama, teknik bertanya Emancipatory Question Habermas menempatkan siswa sebagai pelaku sejarah pada zamannya. Dalam hal ini kegiatan bertanya dilakukan oleh guru dan siswa dengan menggunakan teknik bertanya Emancipatory Question Habermas; kedua, teknik bertanya Emancipatory Question Habermas, merupakan strategi atau metode utama dalam pendekatan konstruktivistik untuk mengukur sejauh mana kesadaran sejarah siswa. Pendekatan konstruktivistik menekankan bahwa pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) manusia yang memberikan peluang pada siswa untuk membangun pengetahuannya sendiri. Selain itu pula pendekatan konstruktivistik memungkinkan siswa untuk melakukan dialog dan menggali informasi atau pengetahuan berdasarkan materi-materi atau peristiwa-peristiwa sejarah sehingga siswa tidak hanya mendapatkan pengetahuan saja namun juga dengan pengetahuan yang dimiliki oleh siswa dapat meningkatkan kesadaran sejarah siswa.
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk mengambil rumusan masalah Penerapan Emancipatory Question Habermas Untuk Meningkatkan Kesadaran Sejarah Siswa (Penelitian Tindakan Kelas Pada Pembelajaran Sejarah Di Kelas XI IPS SMA Bina Bangsa Palembang).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar